Bukan hanya di level pelaksana operator dan staff terjadinya ketidak kompakan dan kerjasama yang tidak maksimal. Seperti di NGK diawal implementasi TPM, justru terjadi “perpecahan” di level manajemen. Seperti yang terjadi dibanyak Perusahaan, saat masuk proses “regenerasi” dan masuknya “manajer2 muda” terjadi benturan2 dengan manajer2 lama. Dan konflik ini tidak tertangani dengan baik.
Tentu saja hal ini mengakibatkan tidak adanya sinergi yang maskimal. Dan tentu saja kinerja dalam QCDSMPE dan SLA dimasing2 bagian dan secara kesuluruhan mengalami penurunan.
PQI mempunyai resep2 yang terbukti selama ini bisa mensinergikan kembali dua manajemen beda usia tersebut. Dengan pendekatan empati yang baik dan bersama-sama mengajak masuk ke pusaran dan “musuh” bersama, akhirnya tercipta sinergi yang dahsyat.
Sharing pembentukan “mind Set” menjadi hal yang penting dan harus dirasakan dampak perubahannya oleh semua pihak. Pelaksanaan sharing untuk kelas manager, kelas Leader sampai Supervisor dan terakhir sharing dengan seluruh karyawan. Dilanjut dengan aktifitas TPM dari semua level operator sampai dengan Presiden Direktor.
Setelah terbentuk budaya dengan paradigma yang sama, bahwa nasib ribuan manusia (karyawan bersama keluarganya, vendor2 dst) tergantung pada buah pikiran dan karya dari masing2 karyawan peserta training, maka….
Dibentuklah “Strategic Focused Organization”. Organisasi yang focused pada strategi. Artinya setia aktifitas yang tertuang dalam activity Plan , dan setiap KPI atau Sasaran Mutu yang menjadi taget untuk dicapai semuanya harus mengacu pada STRATEGI !!
Jangan sampai terjadi pada Perusahaan Philip, Osram , Sanyo, Kepsonic, Tongyang, dst..dst yang seperti kacamata kuda tidak aware dengan kondisi SWOT sekitarnya dan internalnya. Bersyukur ISO 9001:2015 dan IATF 16949: 2015 , versi yang baru sudah mengajak kearah sana. Hanya yang perlu dijaga adalah implementasinya yang jangan hanya sebagai formalitas mengejar sertifikat. Atau pendalaman dan pengupasannya yang tidak tajam dan sesuai.
Kita terapkan langkah2 sistematis yang detail yang membuat semua manajemen mulai dari manajer lini terbawah sampai atas jadi “TERJEBAK” mempunyai arah , fokus dan “jalan” yang sama. Dan menghadapi MUSUH bersama, yaitu GLOBAL KOMPETISI yang kejam. Sedikit lebai biar lebih aware…he..he..
Perubahan dari “permusuhan” menjadi sinergi dan terbentuk team work yang dahsyat sehingga dari no 2 dibawah menjadi 2 diatas dalam NGK world wide. Disamping masing2 pihak manajer sedang berusaha beradaptasi terhadap ajakan perubahan mind set yang secara sadar dianggap penting dan perlu. Disisi lain level operator sampai leader berhasil “menarik” atasannya untuk bergerak menuju arah perubahan yang baik.
Kadang terjadi , justru level operator sampai leader yang mempengaruhi atsannya untuk menjadi barokah buat sesama karyawan dan keluarganya.
Hasilnya bisa dilihat pada testimoni2 baik dari Operator, Ketua dan pengurus serikat , level Supervisor, Foreman, Manajer dan Direktur.
Berpuluh tahun Faber berusaha implementasi 5S tapi budaya belum terbentuk juga, semangatnya masih seperti “mental kuli”. Saat mau diaudit baru bagus, setelah selesai audit, mental 5R seperti yang lama. (hal ini juga banyak terjadi di banyak Perusahaan).
Membuat audit checklist yang tadinya tidak detail tidak sistematis dan skor maupun bobot point2 yang ada sering membuat bias dan tidak “fair”. Meskipun sudah ada form audit, tapi akhirnya yang dirasakan adalah auditnya “Subyektif”, tidak fair, tidak adil. Yang ujung2nya malah membuat tivasi yang diaudit.
Disisi lain pengembangan 5S ini bukan hanya sekedar dengan mudah menjawab secara visual manajemen pertanyaan2 “ Apa, Dimana , Berapa , Kapan”. Tetapi lebih jauh dari itu, kita kembangkan untuk menjawab pertanyaan “ Apa, SIAPA, Dimana, Berapa, Kapan”.
Mengapa kita masukkan pertanyaan “SIAPA” ? Ya , karena 5S sebenarnya lebih terutama mengatur budaya manusianya. Bukan hanya mudah mencari barang, tapi manusianya juga harus jelas ada dimana dan ngapain. Bukan hanya barangnya saja yang jelas jumlah min dan max nya berapa, tapi orang juga harus tepat kehadirannya dan tepat waktunya. Disinila 5R/5S benar2 membentuk BUDAYA, bukan hanya sekedar formalitas dan ceremonial saja!
Disisi lain, inilah yang masih sering terjadi sebagai ceremonial penuntusan activity Plan saja. Perusahaan melakukan audit 5S atau 5R dan bahkan sudah bagus dibuat konvensi di group Perusahaannya. Tapi sayangnya saat kita check form auditnya, masih kurang komprehensif dan tidak ada “ROH”nya. Ini yang membuat aktifitas 5 R tidak mendarah daging dan tumbuh sendiri sebagai budaya di shop floor.
DI level Operator sampai Foreman, kita ciptakan sistem yang membentuk BUDAYA memunculkan “rasa memiliki” yang tinggi. Bukan rasa memiliki barang2 Perusahaan dibawa pulang ke rumah lho ya, kalau ini rasa memiliki yang berlebihan…he..he…. Caranya dengan implementasi 5S/5R yang benar , detail dan dengan konsep Bottom Up bukan Top Down yang selama ini sering dilakukan di hampir 90%. Perusahaan. Aktifitas 5R hanya berjalan saat akan dilakukan Audit 5R, Top Down seperti inilah yang masih sering terjadi. Dan biasanya sampai bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun akan tetap sama saja, itu-itu terus yang terjadi… Rutinitas yang berulang : Berantakan , saat menerima informasi mau diaudit atau mau ada tamu agung jadi rapi. Tadi itu bagi yang menghindari audit dadakan. Bagi yang diaudit dadakan, akan muncul hasil Before dan After. Setelah lewat audit mulai muncul berantakannya lagi. Mental kuli muncul, persis saat kucing2an dengan petugas polisi Jalan Raya tol saat “mencuri” menggunakan bahu jalan tol.
Terbukti di FCI, NGK, Agel Langgeng (Kapal Api Group) perubahan budaya 5 R dirasakan perubahan besar karena mentalnya dan rasa memilikinya sudah terbentuk. Ada audit tidak ada audit mereka berusaha improve yang tidak hanya sekedar bersih2. Justru bagaimana menurunkan waktu bersih2 tapi hasilnya maksimal baik tangible maupun intangiblenya.
Yang terjadi malah yang tidak masuk pilot projek “ngotot” pengin gantian digilir jadi pilot project. Dan inilah….: Saat yang tidak jadi pilot project minta dijadikan pilot project berarti saat itu sudah terbentuk BUDAYA yang POSITIF. Bukan diperintah oleh atasan untuk memperbaiki area kerja nya, tapi keinginan dan permintaan mereka sendiri.
Nha, Jadi jelas beda dengan model kucing2an dan mental kuli diatas tadi !
Disisi lain, tool dan alat2 yang tadinya sering hilang, sekarang tidak pernah terjadi lagi. Karena rasa memiliki yang “luhur” sudah benar2 masuk kedalah paradigma dan mind set teman2 di shop floor.
Perubahan
Mulai jaman beberapa konsultan kami jadi auditor dan saat jadi konsultan pun, yang sering menjadi keluhan oleh Pimpinan ataupun owner Perusahaan saat ngobrol makan siang , baik lokal company, perusahaan Jepang, Korea, Inggris, Jerman , Amerika adalah : Mental dan budaya karyawan indonesia lemah, termasuk kompetensinya. Bahkan beberapa diantara pimpinan tersebut dengan nada putus asa yang bercampur pasrah keadaan “memamerkan sedikit “menyombongkan” bahwa pekerjaan yang sama dengan alat yang sama, karyawan saya dinegara asal bisa mengerjakan pekerjaan yang sama lebih cepat 2-3 kali dari karyawan indonesia.
Rasanya sedih juga sering mendengar dan mendapat komentar seperti diatas. Jati diri sebagai bangsa Indonesia agak terusik…(weleh….). Lalu kadang konsultan kita sering sedikit melakukan pembelaan diri : Tapi Toyota Indonesia bisa menjadi kiblat beberapa Toyota negara lain lho. Artinya masalahnya bukan di orang indonesianya, tapi dibudaya Perusahaan
Memang konsep TPM ( Total Productive Maintenance atau Total Productive Management), konsep TPS ( Toyota Production System), TQM (Total Quality Management ) menyatakan , kalau operator melakukan kesalahan yang “SALAH” adalah sistemnya. Mulai dari atasan, sistem penilaian Kinerja, sistem monitoring , instruksi kerja, dst,dst….Jadi kalau mau membenahi dan improve di level yang bawah di shop floor ya harus mulai pembenahan dari sistem management shop floornya.
PQI dalam melakukan improvement dan peningkatan QCDSMPE dan SLA yang ujung2nya adalah peningkatan Kapasitas dan PROFIT , selalu menggunakan metoda “Memanusiakan Manusia” artinya memberi penghargaan, kepercayaan dan kesempatan pada Operator untuk maju.
Banyak Perusahaan yang selama bertahun2 atau bahkan puluhan tahun selalu menganggap operator seperti robot. Menganggap operator tidak punya KEMAMPUAN dan ada yang lebih parah pagi menganggap mereka selalu tidak punya KEMAUAN untuk maju.
Nha , disinilah PQI melakukan perubahan dan pendekatan yang unik dan berbeda. Menggabungkan ESQ, NLP, Leadership, Coaching, TPM, TPS, SMED, System Cell, Pilot Project, SFO, methoda 5 Pilar diawal ,dst disertai approach yang mendalam dan menyentuh teori Maslow. Semua dikemas menjadi satu kesatuan yang sistematis dan detail.
Memunculkan semangat kompetisi sampai muncul level teratas dari Hierarcy Needsnya Maslow, yaitu level 4 Self Esteem sampai muncul level 5 Aktualisasi Diri. Dan itu bisa muncul dari Operator dan Staff dilini paling depan !!!!
Inilah yang menjadi fokus dari team Konsultan PQI. Dan terbukti bisa merubah dengan cepat dan drastis.
Perubahan budaya yang dramatis yang dirasakan oleh operator, ketua dan pengurus serikat kerja, Leader, Forman, Supervisor, Manager, Factory Manager dan Direksi.
Bagaimana hasil perubahannya silahkan lihat video hasil sharing beliau2 di ………………..