Kendala dalam deliver (implementasi) Last Planner System di Project
- 17/04/2020
- Posted by: PQI Consultant
- Categories: Blog, Lean Construction
Last Planner System (LPS) adalah sebuah tools yang sangat penting dalam implementasi Lean Construction. Last Planner System (LPS) menjadi sangat penting sekali di dalam project karena dapat dan bisa meningkatkan performance dari waktu penyelesaian proyek, produktivitas proyek, safety, dan juga sampai kualitas dari proyek tersebut seperti yang sudah dialami dari banyak proyek yang telah mengimplementasikan hal tersebut.
Last Planner System (LPS) awalnya di implementasikan di beberapa proyek saja di amerika, seperti pada perusahaan rumah sakit sutter health di lima pilot proyek, David Medical Office, Modesto Tower, Delta, Roseville Emergency Department, struktur di Tempat parkir di Roseville.
Di finlandia sendiri dari empat perusahaan konstruksi besar seperti Rakennus Oy, Skanska Talonrakennus, NCC Rakennus, dan Rakennusosakeyhtiö Hartela yang telah mengimplementasikan Last Planner System (LPS) pada masing-masing 4 proyeknya. Improvement pada Produktivitas, kualitas, dan safety yang dapat dirasakan oleh proyek-proyek tersebut.
Banyak sekali manfaat yang telah dan sudah dirasakan oleh perusahaan, tim proyek dan juga para stakeholders atas implementasi Last Planner System (LPS) di proyek, Tapi tantangan dan kendala dari dalam implementasi nya juga tidak bisa dikesampingkan oleh karena itu jika kendala ini tidak teratasi oleh tim proyek, manfaat yang besar dari implementasi ini akan menjadi tidak bisa dirasakan dan last planner system (LPS) akan menjadi kontra produktif.
Permasalahan yang muncul pada saat adanya implementasi Last Planner System (LPS) adalah sebagai berikut:
- Culture merasa benar dan tidak mau di improve
- Kurangnya Training
- Kurangnya kepemimpinan dan komitmen dari organisasi
- Support dari stakeholder yang kurang
- Struktur kontrak awal dengan stakeholder
Permasalahan ini harus diselesaikan bersama dengan cara kolaborasi untuk bisa mendapatkan jalan keluarnya. Yang pertama yang harus diselesaikan adalah common culture atau budaya keseluruhan dari proyek itu sendiri. Jika culture ingin berubah dan bisa berkembang dan telah dirasakan oleh seluruh tim, permasalahan yang lain dapat dengan mudah diatasi dan di cari jalan keluarnya dengan cara kolaborasi.