Managing Business Is Managing People
- 14/03/2017
- Posted by: Aloysius Marwata
- Category: Human Capital Management
Bagaimana kita menyusun Risk Management?
PQI Consultant –“Coba datanglah ke Sekretaris CEO/Presiden Direktur/Direktur, lihatlah schedule kerja 1 bulan kedepan. Kalau dari puluhan agenda, tidak ada satupun agenda pengembangan Sumber Daya Manusia. Lupakanlah semua bla..bla..bla..mengenai strategi pengembangan manusia”
Noel Tichy-Leadership Development-General Electric
Guru manajemen, Jim Collins, dalam bukunya Good to Great (2001), mengatakan bahwa yang paling penting sekaligus sulit dalam menjalankan organisasi adalah get the right people on the bus. Lebih jauh, katanya: first who, then what…, yang berarti bahwa kecakapan/kompetensi manusia jauh lebih penting daripada kecanggihan strategi bisnis. Strategi bisnis, walaupun sebaik apapun, tak akan berjalan mulus bila jatuh ke tangan orang-orang yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan orang-orang yang kompeten, strategi bisnis bisa dikembangkan secara baik dan dieksekusi dengan tajam.
Pertanyaannya, siapa yang seharusnya bertanggungjawab dalam penyiapan & pengembangan sumber daya manusia?
Di setiap organisasi, tentunya ada Divisi/Departemen yang menangani manusia, bisa jadi sebutannya Departemen Personalia, Human Resource, Human Capital atau sebutan yang lain. Dan terkadang, petinggi organisasi sudah merasa tugasnya selesai jika sudah membentuk Divisi/Departemen ini. Kalau saya sudah buat, pasti karyawan saya akan “terurus” dan akan berkontribusi positif terhadap kinerja organisasi.
Commitment Management
Menarik, apa yang disampaikan oleh Noel Tichy, “Coba datanglah ke Sekretaris CEO/Presiden Direktur/Direktur, lihatlah schedule kerja 1 bulan kedepan. Kalau dari puluhan agenda, tidak ada satupun agenda pengembangan SDM. Lupakanlah semua bla..bla..bla..mengenai strategi pengembangan manusia”
Bagi Management yang lebih melihat/mementingkan hasil, tidak heran kalau mereka lebih sibuk mengurus bisnisnya. Setiap waktu, agendanya diisi dengan memikirkan bisnis, jika bisnis sudah didapatkan, bisnis diserahkan ke internal organisasi untuk dieksekusi. Pertanyaannya, siapkah team untuk mengeksekusi bisnis yang baru?
Balanced Scorecard mengajarkan pendekatan sederhana, namun begitu mudah dicerna, bagaimana karyawan yang kompeten berperan dalam organisasi.
Dalam Balance Scorecard, terdapat 4 perspektif yaitu finansial, customer, internal proses dan learning and growth. Hasil yang didapat dalam perspektif financial (biasanya profit, sustainability bisnis dll) merupakan puncak dari tujuan organisasi. Hasil dari perspektif finansial merupakan konsekuensi logis dari pencapaian managing customer yang baik, karena customerlah yang “membeli” produk/service organisasi. Customer akan terus menjadi pelanggan jika kita bisa men-deliver produk/service yang baik. Produk dan service yang baik bisa terwujud jika didukung oleh internal proses yang handal. Pertanyaannya, bagaiamna agar internal proses bisa handal? Otak dari proses adalah manusia, karena manusialah yang mendesain dan menjalankan proses. Manusia merupakan bagian penting dalam perspektif learning & growth. Jadi, jika kita runut, manusia merupakan pondasi bagi organisasi untuk menghasilkan profit.
PQI Consultant –“The work an unknown good man has done is like a vein of water flowing hidden underground, secretly making the ground green.” ,Thomas Carlyle
From Competence to Commerce
Jika kita sudah sadar bahwa manusia merupakan kunci dari keberhasilan organisasi, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana agar HR benar-benar berperan nyata bagi organisasi.
Pada kenyataannya, banyak organisasi yang mengeluh, kenapa saya sudah mengeluarkan sekian banyak budget untuk men-training karyawan, namun saya tidak melihat hasil nyata dari hasil training; uang terus digelontorkan tetapi belum berdampak signifikan terhadap peningkatan performance organisasi.
Jadi apa yang salah?
Kabanyakan organisasi, melakukan identifikasi training hanya berdasarkan gap competency current condition karyawan vs standard competency yang dipersayaratkan. Setelah dilakukan indetifikasi, didapatlah mana competency yang masih ada gap, kemudian ditentukan apa program training yang diperlukan untuk “menutup” gap tersebut. Nah….mestinya, setelah trainingnya selesai dan gap nya hilang/menipis, harusnya berdampak ke performance organisasi dong….. Bisa iya, bisa tidak!
Yang pertama kali harus di-check adalah apakah kompetensi yang selama ini diidentifikasi selaras dengan kebutuhan bisnis organisasi? Apakah sudah di-link-kan dengan model business-nya? Kalau belum, tidak heran jika berapun budget yang dikeluarkan tidaklah berdampak signifikan terhadap performance organisasi.
Jadi pastikan, kompetensi yang ditetapkan link ke kebutuhan bisnis perusahaan, jika ini yang terjadi, budget yg dikeluarkan perusahaan untuk training pastilah akan berdampak ke performance organisasi, from competence to commerce